Tantangan Kritis dalam Lintas Batas Negara: Mengupas Pengabaian Terhadap Prinsip Keberlanjutan

August 15, 2024
(Studi Kasus: PLBN Skouw, Indonesia – Papua Nugini)
Teguh Ahmad Asparill

Mengapa wilayah pinggiran terus terabaikan meskipun propaganda mengenai pola hidup ramah lingkungan dan prinsip berkelanjutan secara konsisten diserukan oleh para aktivis lingkungan? Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw telah beroperasi lebih dari 15 tahun sebagai pos utama perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Kunjungan wisatawan dari Papua Nugini mencapai angka 2.362 orang (Humas BNPP, 2024). Hal ini didorong oleh masifnya kegiatan pariwisata dan perdagangan masyarakat, sehingga menyebabkan nilai jual global di PLBN Skouw signifikan meningkat. Namun, isu keamanan kerap menjadi masalah utama di area ini karena maraknya kasus penembakan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Tanah Papua yang menyebabkan keresahan masyarakat kian meningkat dan mengurangi jumlah wisatawan. Walaupun demikian, salah satu pasar di Skouw masih berhasil mempertahankan nilainya, dengan nilai valuasi transaksi harian sekitar tiga miliar (Pradana dan Utama, 2020). Hal ini terjadi karena aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan masyarakat Papua Nugini. 

Transaksi yang dilakukan di pasar Wutung menggunakan metode tunai dan barter. Fleksibilitas ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bertukar bahan mentah dan bahan pangan. Masyarakat Papua Nugini juga beropini bahwa nilai jual barang di pasar Wutung lebih murah dibandingkan tempat perdagangan daerah mereka. Oleh karena itu, jumlah masyarakat Papua Nugini yang berbelanja di pasar Wutung dapat mencapai 100-150 pembeli pada hari normal dan meningkat pesat hingga 1000 pembeli pada hari libur (Litaay, 2024). Namun dalam proses perputaran ekonomi yang terjadi di PLBN Skouw melalui pasar Wutung, masalah operasional pemeriksaan masyarakat masih menjadi penghambat utama. Sebagai contoh adalah kasus pemusnahan 650 kilogram buah pinang dengan cara dibakar karena oknum masyarakat lokal tidak dapat menyerahkan dokumen administrasi dalam jangka waktu tiga hari, setelah tertangkap melintasi jalur ilegal (Pusung, 2024).

Secara prosedural, tindakan penertiban masyarakat yang melintasi jalur ilegal sangat penting untuk menjaga keamanan teritorial. Namun, yang tidak disadari oknum pemusnahan barang masyarakat seperti bahan pokok dengan cara dibakar akan menimbulkan buangan emisi karbon. Pemusnahan barang sitaan menggunakan metode pembakaran sampah terbuka (open burning) adalah metode pengelolaan sampah yang marak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, karena biaya yang murah dan penerapannya yang sangat mudah. Namun, dampak yang ditimbulkan sangatlah serius karena akan menghasilkan senyawa berbahaya yaitu karbon dioksida (CO₂), nitrogen oksida (N₂O), dan metana (CH₄) yang selama ini telah menjadi zat gas penghasil utama pemanasan global.

Pembakaran sampah organik menghasilkan rata-rata gas N₂O sebesar 6,87 Gg CO₂-eq/tahun dan CH₄ sebesar 2,34 Gg CO₂-eq/tahun (Wahyudi, 2019). Data ini, menunjukkan bahwa apabila setiap kasus masyarakat melintasi perbatasan menggunakan jalur ilegal dan membawa bahan pokok berupa buah pinang dengan rata-rata 650 kilogram per kasus, maka rata-rata emisi karbon yang dapat dihasilkan dari hasil pembakaran tersebut adalah 0,00598 Gg CO₂-eq/tahun atau setara dengan 5,98 ton CO₂-eq/tahun, dengan spesifikasi N₂O sebanyak 0,00446 Gg CO₂-eq/tahun dan CH₄ sebanyak 0,00152 Gg CO₂-eq/tahun. Masalah lain yang dapat timbul berupa timbulan sampah yang ada di pasar Wutung, karena apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan emisi gas CH₄.

Pasar Wutung menjadi salah satu penghasil timbulan sampah yang ada di Kota Jayapura, dengan total timbulan sampah perkotaan saat ini mencapai 241.87 ton/hari atau 88.282,84 ton/tahun (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023). Timbulan sampah ini, didominasi oleh sampah sisa makanan sebanyak 56% yang juga berasal dari lingkungan pasar dengan proyeksi sebanyak 7,87% (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023). Sementara total titik pasar yang ada di Kota Jayapura saat ini adalah 12 titik (Pemerintah Provinsi Papua, 2023), artinya 1 titik pasar dapat menghasilkan 0,888 ton/hari. Sampah organik yang tertimbun dapat menghasilkan emisi CH₄ sekitar 0,47 kg per berat sampah organik (Anifah dkk., 2021). Sehingga 1 titik pasar di Kota Jayapura diproyeksikan dapat menghasilkan emisi CH₄ sebesar 0,41736 kg per/hari. Masalah pembakaran barang sitaan dan timbulan sampah di pasar Wutung telah menjadi masalah serius di daerah PLBN Skouw, meskipun tidak pernah disadari oleh masyarakat dan unsur-unsur pemerintah sekitar. Oleh karena itu, daerah perbatasan negara PLBN Skouw membutuhkan pendekatan dan adaptasi yang menunjang perputaran ekonomi serta stabilitas lingkungan, mengingat wilayah lahan perhutanan di tanah Papua adalah benteng terakhir paru-paru dunia karena Hutan Kalimantan kian tergerus pembukaan lahan kelapa sawit.

Tinjauan Urgensitas Penerapan Sustainable Global Value Chain (SGVC) di Pasar Wutung

Pasar tradisional di Indonesia berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat melalui penyediaan bahan makanan, komoditas tekstil hingga elektronik. Seluruh kebutuhan ini diakomodasi melalui rantai distribusi. Mayoritas pasar tradisional saat ini masih belum memadai sehingga mempengaruhi kualitas barang karena akan sangat mudah tertular bakteri. Oleh karena itu, pemerintah mengatur standarisasi pemenuhan konsumen di pasar tradisional dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 yang didasari pada Standar Nasional Indonesia Nomor 8152 yang terdiri atas persyaratan umum, teknis hingga manajerial (Utari dkk., 2021). Tujuannya, agar penanggung jawab pasar dapat menjamin kualitas kesegaran bahan pangan dan kelayakan bahan non-pangan.

Pasar tradisional sangat membutuhkan tata Kelola yang dapat mengoptimalkan rantai distribusi dan kualitas lingkungan. Sustainable Global Value Chain (SGVC) merupakan contoh tata kelola holistik untuk menyediakan sumber daya penjualan yang terkoordinir dan berupaya untuk menyajikan sumber daya yang tidak terbatas ke setiap konsumen (Dimitropoulos dkk., 2023). Konsep SGVC pada umumnya diterapkan pada perusahaan multinasional yang besar. Namun, karena diskursus sustainable pada dekade ini sangat berkembang pesat. Maka, seluruh stakeholder berambisi untuk menyelenggarakan pelayanan yang optimal dan bebas emisi karbon (Hariram dkk., 2023). Belum lagi, fungsi lingkungan sangat vital dalam seluruh aspek dan harus dijaga untuk generasi berikutnya.

Pasar Wutung sangat potensial untuk menerapkan SGVC karena letaknya yang strategis di PLBN Skouw. Hal ini dimungkinkan karena aktivitas perputaran ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal terhadap masyarakat Papua Nugini. Pemerintah melalui Kementerian PUPR memfasilitasi para pedagang dengan membangun 304 los kios dagang. Hal ini tentunya meningkatkan efektivitas pola perdagangan di pasar Wutung (Abubar, 2018). Meskipun sarana dan prasarana telah cukup mendukung, pasar Wutung memiliki dua masalah utama yaitu sulitnya pendistribusian barang dagangan karena ketatnya operasional pemeriksaan yang membutuhkan kelengkapan dokumen administrasi. Sehingga, masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan administratif untuk melintasi lintas batas akan memilih untuk melintasi jalur ilegal untuk aktif melaksanakan perdagangan. Dampaknya, banyak benda perdagangan yang disita oleh petugas, bahkan petugas akan memusnahkan bahan pangan pokok dengan cara dibakar. Padahal, bahan pangan tersebut masih dapat diperjualbelikan karena masih memiliki nilai jual. Imbasnya hanya akan mengarah ke pemborosan pangan dan pelepasan emisi karbon oleh proses pembakaran.

Selanjutnya, pengelola pasar Wutung mengalami masalah timbulan sampah sisa bahan pangan yang tidak habis terjual. Timbulan sampah ini, secara bertahap akan memuai dan melepaskan gas CH₄ sehingga secara tidak langsung akan menambah total buangan emisi karbon karena kurang optimalnya pengelolaan sampah di pasar Wutung. Sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon maka pengelola pasar membutuhkan strategi untuk menjamin dan menjaga rantai pasokan perdagangan agar tetap segar dan dapat habis terjual kepada konsumen. Pada situasi ini, urgensi terhadap penerapan SGVC didaerah PLBN Skouw sangat dibutuhkan untuk menunjang operasional pasar Wutung yang ramah lingkungan dan mendukung realisasi ekonomi sirkular di daerah perbatasan negara. Untuk mengoptimalkan pasar Wutung, dibutuhkan nexus operasi dan fungsi berkesinambungan mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi antara Indonesia dan Papua Nugini sehingga akan memudahkan pengembangan jaringan perdagangan yang mendukung penambahan nilai bahan pangan dan non pangan.

Keunggulan utama penerapan SGVC di PLBN Skouw adalah pengelola pasar dimudahkan dalam menganalisa struktur perdagangan pada tahapan produksi hingga konsumsi dengan skala spasial global yang terukur antara Indonesia dan Papua Nugini. Selain itu, proses produksi perdagangan di pasar Wutung dengan menerapkan SGVC akan membantu pemahaman lebih lanjut tentang dinamika kekuasaan lintas batas yang mempengaruhi produksi global. Terlepas daripada itu, saat ini produksi berbagai pasar di Indonesia terfragmentasi karena kondisi geografis dan kelembagaan yang semakin memperparah tantangan rantai distribusi untuk mengurangi jejak pencemaran lingkungan (Bustaman dkk., 2022).

Disisi lain, inisiatif praktik berkelanjutan di daerah PLBN Skouw harus mengantisipasi adanya potensi oportunisme di antara mitra perdagangan sehingga akan memudahkan pelaku ekonomi untuk mengendalikan biaya transaksi secara otonom. Wacana penerapan SGCV oleh pengelola pasar Wutung akan sangat bergantung pada pengintegrasian 304 los kios perdagangan, karena jaringan perdagangan lintas batas membutuhkan perantara, kohesi, dan modal sosial yang melimpah. Meskipun demikian, penerapan SGCV di PLBN Skouw akan mengurangi massa timbulan sampah karena sumber daya yang terdistribusi dengan optimal. Selain itu, penerapan SGCV dapat meningkatkan pemahaman pengelola pasar terhadap aktor sosial yang mempengaruhi kekuasaan pada jaringan perdagangan global antara Indonesia dan Papua Nugini untuk memungkinkan kemudahan negosiasi proses prosedural pemeriksaan dokumen pelaku pelintas batas negara yang juga merupakan pelaku aktivitas ekonomi di pasar Wutung.

Harapan Optimalisasi Rantai Perdagangan PLBN Skouw sebagai Potensi Daerah Perbatasan

Terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan yang dihadapi di PLBN Skouw, ada peluang besar untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan memperkuat hubungan antara Indonesia dan Papua Nugini melalui pasar Wutung. Meskipun masalah keamanan, seperti tindakan KKB, merupakan potensi ancaman atas keberlangsungan perdagangan dan interaksi sosial. Diharapkan bahwa PLBN Skouw akan berfungsi sebagai model integrasi perdagangan lintas batas yang efektif yang tidak hanya menghasilkan keuntungan finansial, tetapi juga mempromosikan kelestarian lingkungan. Melalui penerapan Rantai Nilai Global Berkelanjutan (SGVC), diharapkan pasar Wutung dapat menjadi contoh positif dalam mengelola rantai pasok yang ramah lingkungan, mengurangi sampah makanan, serta meminimalkan emisi karbon dan limbah. Pemerintah harus terus meningkatkan dedikasinya untuk meningkatkan infrastruktur dan layanan di PLBN Skouw. Hal ini termasuk penerapan prosedur pemeriksaan yang lebih efisien yang menjamin keamanan tanpa kompromi.

Dukungan yang efektif dari otoritas manajemen administrasi perdagangan akan membantu mengurangi kegiatan ilegal yang berbahaya. Membangun kerja sama lintas batas yang terstruktur dan terintegrasi dapat mendorong lingkungan yang stabil dan aman bagi penduduk setempat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah perbatasan. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat setempat dapat meningkat dan keberlanjutan sumber daya alam yang ada dapat dipertahankan.

PENULIS

Nama: Teguh Ahmad Asparill (He/Him)
Asal Institusi Pendidikan: Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Biografi Singkat Penulis: Teguh Ahmad Asparill adalah seorang penulis dan peneliti yang tertarik pada isu-isu politik dan kebijakan publik, khususnya dalam konteks lingkungan dan keberlanjutan di lintas batas negara. Dengan latar belakang pendidikan dalam bidang ilmu politik dan pemerintahan, Teguh Ahmad Asparill memiliki pengalaman dalam riset dan penulisan yang mendalam tentang dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan lintas batas. Melalui tulisannya, ia berharap dapat meningkatkan kesadaran publik dan mempromosikan tindakan yang berkelanjutan dalam pengembangan wilayah perbatasan.