Youth Empowerment for Tomorrow: Navigating Education and Inequalities Press Release

July 30, 2024

General

Youth Empowerment for Tomorrow (YET) merupakan program inkubasi bagi pemuda Indonesia yang membahas mengenai isu nyata di Indonesia. Keunikan dari program inkubator kami adalah integrasi isu-isu kompleks dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Program pertama kami, yang mengundang pendiri Think Policy dan Bijak Memilih, Andhyta F. Utami, sebagai pembicara, berhasil meraih predikat ‘sangat puas’ sebesar lebih dari 92% dari keseluruhan partisipan. Saat itu, kami membahas isu politik di Indonesia dari lensa SDG 4, 5 dan13 sebagai dasar dari ketertarikan generasi muda Indonesia yang beragam.

Kesuksesan program tersebut menjadi batu loncatan kami untuk membentuk program selanjutnya yaitu “YET: Navigating Education and Inequalities,” yang fokus pada SDG 10: ‘Berkurangnya Kesenjangan’. Pelaksanaan Inkubator kali ini berfokus pada ranah edukasi. Program ini diikuti oleh 15 peserta inkubator terpilih (Dari seleksi 150 peserta) selama satu minggu. Pelaksanaan kali ini mengundang empat pembicara penggiat edukasi ternama. Risky Altaresh (TamanSchool), Davina Faustanisah (Mahasiswi Harvard Graduate School of Education), Deris Nugraha (DANAYA), dan Zhafira Aqyla (Tau Lebih). Selama satu minggu, peserta telah dibimbing oleh mentor terpilih yang membantu mereka melakukan penelitian serta presentasi sebagai hasil dari program inkubator. Ada tiga ranah isu yang dibahas: ‘Ketimpangan sosio-ekonomik dalam pendidikan’, ‘Ketimpangan gender dalam pendidikan’, dan ‘Fasilitas dan akses pendidikan yang berkualitas’. Program ini berhasil meraih tingkat kepuasan sebesar 83% sehingga dianggap sukses.

Day 1 (Knowledge Day) 19 Mei 2024

Highlight Day-1: Aku, kamu, kita. Semua bisa membuat perubahan!

Knowledge atau pengetahuan menjadi salah satu value yang ingin diberikan kepada setiap individu yang bergabung di acara ini. Tidak hanya peserta yang mendapat knowledge baru, tetapi juga mentor dan narasumber yang akan saling berdiskusi mengenai isu pendidikan dan ketimpangan. 

Knowledge Day dikemas dengan menghadirkan dua pembicara dari dua latar belakang yang sama, tetapi juga berbeda. Narasumber 1 berfokus pada ketimpangan pendidikan versi praktik, sedangkan narasumber 2 berfokus pada ketimpangan pendidikan mendalam versi teori. Walaupun berbeda, keduanya saling melengkapi!

“Theory without practice is pointless, practice without theory is blind.” 

– Kwame Nkrumah

Acara dimulai dengan sambutan hangat dari Project Officer Youth Incubator (Aditya Putra) dan Secretary General United Nations in Indonesia (Bhagasjati Kusuma). Acara kemudian dilanjut dengan pembekalan materi 

NARASUMBER 1: “Build your education microcosm: Solving inequality in Our Learning Ecosystem from a reachable scale oleh Risky Altaresh (CEO TamanSchool)” 

Pada penyampaian materi ini, sebagai sosok yang telah berkecimpung langsung di lapangan (praktik) Kak Ares berbagi pengalaman sejarah terbentuknya TamanSchool, motivasi yang mendorong dia terus berjuang, dan pentingnya menyejahterakan guru serta murid.

Apa yang Kak Ares lakukan dari segi praktikLearning Objectives
Menemukan ketidaksetaraan:
Gaji guru yang rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain menyebabkan rendahnya daya saing (dan akibatnya kualitas yang lebih rendah).
Dukungan birokrasi dan operasi yang tidak efisien memperlambat kemajuan.
Kesehatan mental bagi siswa dan guru bukanlah sebuah “kemewahan”. Itu adalah kebutuhan mendasar!

Pahami dengan baik apa yang ingin kita selesaikan, sebelum mencoba menyelesaikan permasalahan apapun untuk benar-benar memahami pasar dan solusi yang akan digunakan dalam setiap langkah. Hal ini juga akan memperkuat perjalanan naik dan turun dari apa yang kita rancang! Jadi kita bisa selalu ingat alasan memulainya 😀
Bangun ’education microcosm’. Selesaikan dalam skala kecil yang dapat Anda kendalikan.Buat lingkungan yang terkendali: Atur lingkungan kecil dan dapat dikelola di mana solusi dapat diuji (misalnya, satu ruang kelas, program percontohan di dalam sekolah).
Be “the man” in the arenaMemberdayakan ‘diri sendiri’ dan orang lain untuk secara aktif terlibat dan memimpin upaya untuk mengatasi dan mengurangi ketidaksetaraan pendidikan melalui keterlibatan langsung, advokasi, dan solusi inovatif.

NARASUMBER 2: “Selangkah Demi Perubahan oleh Devina Faustanisa Nursyah Wibowo (Harvard Graduate School of Education)”

Pada penyampaian materi ini, sebagai sosok yang menekuni dan merasakan ‘privilege’ pendidikan di salah satu Ivy League pada major Graduate School of Education, Kak Devina berbagi pengalaman terkait Theory of Change (TOC) dan bagaimana menyelesaikan masalah dengan pendekatan teori yang mendalam secara step by step; mulai dari aktivitas apa yang bisa diupayakan untuk membuat perubahan, intermediate outcomes, ultimate outcomes.”

Apa yang Kak Devina lakukan dari segi teoriLearning Objectives
Jadi, kita akan mulai dari mana?Pertanyaan ini membuka ruang bagi refleksi penting tentang pendekatan yang kita ambil dalam menghadapi masalah kompleks. Dengan menekankan pentingnya membangun kerangka berpikir yang solid, kita diingatkan bahwa langkah pertama dalam setiap usaha adalah menghubungkan teori dengan praktik. Ini memastikan bahwa tidak ada pemisahan antara apa yang kita ketahui (teori) dan apa yang kita lakukan (praktik), membawa kita tetap pada jalur yang benar.Sering kali, tantangan yang kita hadapi mungkin terasa abstrak dan membingungkan di awal, namun dengan kerangka berpikir yang matang, kita bisa memahami bahwa kita berada pada tahap yang tepat dalam proses tersebut dan memerlukan waktu untuk memahami dan mengimplementasikannya secara penuh. 
Everything should be made as simple aspossible, but not simpler.Ini mengingatkan kita tentang pentingnya kesederhanaan dalam solusi tanpa mengorbankan kebutuhan untuk mendalami dan memahami komponen-komponen kompleks yang terlibat. Kesederhanaan yang efektif dalam solusi bukan berarti menghilangkan nuansa penting atau detail kritis, tetapi merancang pendekatan yang mudah diakses namun masih komprehensif. Ini adalah tentang menemukan keseimbangan antara tidak terlalu rumit sehingga sulit untuk diimplementasikan dan tidak terlalu sederhana sehingga gagal menangani keseluruhan aspek masalah.
“Be the change you wish to see in the world”Perubahan yang kita inginkan di dunia dimulai dari diri kita sendiri. Ini mengharuskan kita untuk menghubungkan niat (apa yang kita yakini) dan tindakan (apa yang kita lakukan). Dengan cara ini, kita tidak hanya berbicara tentang perubahan tetapi juga berkontribusi secara nyata. Meskipun pada awalnya mungkin terlihat seperti tugas yang besar dan abstrak, dengan komitmen dan langkah-langkah kecil, kita akan melihat bahwa kita berada di jalur yang benar untuk mencapai perubahan yang diinginkan.Semuanya dimulai dari tindakan kita sendiri, dan melalui tindakan tersebut, kita dapat menciptakan dampak yang signifikan.

Setelah pembekalan materi, lalu dilanjut sesi Q&A dari peserta, para peserta aktif menanyakan dan mayoritas berdasarkan dari realita yang mereka lihat di kehidupan dan sekitar mereka.

Kemudian, peserta dan mentor tiap grup melakukan sesi FGD untuk berkenalan dan membahas rancangan isu yang ingin diselesaikan. Masing-masing tim membahas topik yang berbeda-beda: Kelompok A terkait ketimpangan sosio-ekonomi dalam pendidikan, Kelompok B terkait ketimpangan gender dalam pendidikan, Kelompok C terkait fasilitas dan akses pendidikan yang berkualitas. What a discussion!

Feedback from our mentees!

Riswandi Ramadhani- Aku belajar bahwa microcosm and theory of change saling berkesinambungan, hal ini bisa dilihat dari bagaimana kita melakukan hal kecil (microcode) dan berdampak besar bagi objeknya kemudian selaras dengan apa inti dari ToC itu sendiri yang melihat realitas, dan harapan/ideal (proses dan hasilnya).

Inayah Alawiyyah- Di FGD bertemu teman setim dan mentor yang sangat peduli terhadap kasus pendidikan, membuat kami belajar untuk peduli mengenai pemerataan akses pendidikan yang layak dan merata untuk seluruh pelajar.

Day 2

Highlight Day-2: Kolaborasi Nyata Pemuda Membangun Indonesia

Hal yang menonjol berbeda dari Day-2 adalah disiarkannya melalui kanal Youtube UNA Indonesia! Day-2 mengundang Kak Zhafira Aqyla, mahasiswa riset di Universitas Osaka dan peraih gelar B.A. dalam Ilmu Manusia. Kak Zhafira juga merupakan alumni dari Harvard Graduate School of Education dengan minat profesional di bidang pendidikan, desain instruksional, edu-tech, dan kewirausahaan. Dengan semangat dan dedikasi, Kak Zhafira terus berinovasi dan membawa perubahan positif di dunia pendidikan melalui platform media sosial dan start-up miliknya yaitu Tau Lebih.id!

Kak Zhafira juga ditemani oleh Kak M. Rizki Nugraha Darma Nagara (Deris). Kak Deris merupakan alumni MPA Columbia University, penerima Campbell Award 2024, Presiden ASEAN-Korea Frontier Forum 2023, CEO and Founder of  Darma Nagara Manday (DANAYA), dan UN Geneva GSP 2024. Kak Deris membangun DANAYA dan telah menyediakan program pengembangan diri dan pendampingan yang memberikan manfaat bagi lebih dari 6000 pelajar Indonesia di bidang pendidikan, kepemimpinan, dan inovasi. Sebagai orang yang memiliki minat dan hasrat mendalam terhadap pertukaran antar budaya, kualitas kepemimpinan, dan keterlibatan komunitas, Kak Deris telah mendedikasikan hidupnya untuk memajukan pemberdayaan pemuda, pengembangan komunitas, dan kualitas pendidikan selama lebih dari sembilan tahun sejak 2013!

Seperti namanya, Youth Idea’s Day merupakan puncak dari program inkubasi ini. Perwakilan peserta dari tiap kelompok telah mempresentasikan hasil diskusi mereka selama masa interim dan pembekalan. Dengan 3 fokus yang berbeda, yaitu:

  1. Kelompok A membahas: ketimpangan sosio-ekonomik dalam pendidikan, 
  2. Kelompok B membahas  Ketimpangan gender dalam pendidikan, 
  3. Kelompok C membahas  Fasilitas dan akses pendidikan yang berkualitas. 

Lesson learned:

Kak Zhafira dan Kak Deris berbicara mengenai cara meningkatkan kualitas pendidikan dari berbagai perspektif. Kak Zhafira menekankan pentingnya kesadaran individu tentang manfaat belajar dan bagaimana insentif dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat memotivasi keinginan belajar anak-anak, terutama di daerah 3T yang fasilitas pendidikannya masih kurang memadai. Ia juga menyoroti perlunya gaji yang layak untuk guru agar mereka dapat mendukung pertumbuhan minat belajar siswa. Evaluasi berkala diperlukan untuk memastikan bahwa anak-anak menjadi pelajar yang merdeka, dan pentingnya pendekatan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah untuk menyelaraskan keinginan belajar dengan kesempatan dan aksesibilitas yang diberikan oleh guru.

Kak Deris, di sisi lain, menekankan pembuatan kebijakan yang berfokus pada kesenjangan sosial-ekonomi. Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap orang dan akses ke pendidikan harus bebas dari kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Salah satu cara untuk menghubungkan pertumbuhan ekonomi dengan pengembangan ekonomi adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan ekosistemnya, terutama bagi masyarakat ekonomi bawah. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan yang terjangkau dan bagaimana Indonesia harus melihat pendidikan, baik itu pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.

Dalam pengalamannya di bidang pendidikan dan pengembangan sosial selama 10 tahun, Kak Deris mengakui bahwa pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Organisasinya berusaha untuk mengisi kekosongan dalam pendidikan formal dengan memberikan fasilitas mentoring dan pemberdayaan terkait soft skills dan life skills yang tidak diajarkan di sekolah. Ini penting untuk meningkatkan potensi diri dan memberdayakan orang lain, seperti yang dilakukan dalam acara UNAI yang bertujuan untuk meningkatkan akses bagi mereka yang mungkin memiliki potensi yang belum terungkap dengan jangkauan yang lebih luas.

Kak Zhafira memberikan contoh konkret dari pengalamannya saat berkuliah di Osaka University dan bergabung dengan PPI. Ia mendirikan Tayo Indonesia Foundation untuk mendukung pendidikan tinggi anak-anak di daerah 3T. Mereka membuat proposal kebutuhan sekolah yang kemudian dipenuhi untuk memastikan tidak ada penggelapan dana. Tantangannya adalah menentukan siapa yang lebih membutuhkan bantuan. Contoh kedua adalah menghubungkan kakak asuh yang memiliki dana lebih dengan adik asuh yang membutuhkan bantuan dengan memberikan laporan kemajuan. Selain itu, ia juga menangani masalah sanitasi dan kebersihan, terutama bagi perempuan yang beranjak dewasa, untuk memastikan proses belajar tidak terganggu.

Baik Kak Zhafira maupun Kak Deris menyoroti pentingnya diskusi dan perspektif interseksional yang memperjuangkan hak-hak tertentu, seperti hak untuk sehat. Mereka juga berbicara tentang akses pendidikan bagi perempuan di daerah 3T, dan pentingnya mempromosikan kesetaraan gender melalui pemberdayaan dan kepemimpinan perempuan. Namun, mereka juga menekankan bahwa kesetaraan gender tidak hanya berlaku bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.

Sebagai seseorang yang pernah berkuliah di Amerika Serikat, Kak Deris merasakan perbedaan fasilitas dan sistem pendidikan dibandingkan dengan Indonesia. Di AS, semua orang memiliki kapasitas untuk berpendapat dan sangat vokal karena budaya yang liberal. Sedangkan di Indonesia, seringkali orang yang berpendapat ditertawakan atau takut salah, yang menyebabkan rasa tidak aman dan sindrom penipu. Selain itu, sistem pendidikan di AS memiliki “office hour” untuk konsultasi dengan dosen, yang tidak ada di Indonesia. Isu sanitasi dan pendidikan seksual juga lebih dipromosikan di AS, sedangkan di Indonesia masih dianggap tabu.

Kak Zhafira menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang masih muda dibandingkan dengan AS, sehingga prioritasnya berbeda. AS sudah menangani isu-isu sekunder, sedangkan Indonesia masih dalam proses perkembangan. Namun, ia menekankan pentingnya adanya pengawas untuk memastikan perubahan yang dilakukan dalam sistem dan kebijakan benar-benar diterapkan di lapangan.
Setelah talkshow oleh Kak Zhafira dan Kak Deris, acara dilanjutkan dengan presentasi perwakilan kelompok hasil diskusi mentor-mentees. Presentasi dilakukan dengan durasi per-tim yaitu 15 menit presentasi dan 10 menit sesi tanya jawab serta umpan balik dari para mentor. Di akhir sesi, terdapat sesi kesan dan pesan dari perwakilan mentee dan mentor untuk keseluruhan acara Youth Empowerment for Tomorrow #2.

Feedback from our mentor and mentees!

Mentor: Kiki Hikmah C- Dengan pandangan pada bidang sosial politik mulai dari segi personal Kak Zhafira, kita harus mengetahui benefit dari belajar. Dengan melihat pendidikan di daerah sekitar, lulusan SMA banyak yang jadi buruh, yang mana untuk jadi buruh tidak harus anak SMA, sehingga memunculkan perspektif kenapa harus belajar sedangkan tanpa lulus SMA bisa jadi buruh, for example. Kemudian pentingnya kesejahteraan guru. Dan apa yang disampaikan Kak Deris bagaimana kebijakannya, akses tidak akan lepas dari sosial politik dan tidak hanya melihat pada bidang itu namun dapat juga melalui keluarga, lingkungan domestiknya. Dan masih banyak lagi yang bisa diambil dalam sesi ini.

Mentee: Kresno Mukti- Advokasi pendidikan harus dimulai dari pemuda intelektual. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Output

Hasil dari acara YET ini adalah penelitian, analisis, dan rekomendasi yang brilian dari para peserta di bawah bimbingan dan kolaborasi dengan para mentor mereka mengenai berbagai isu terkait pendidikan dan ketimpangan di Indonesia!

Tim A membawakan presentasi berjudul “Menurunkan Ketimpangan Sosio-Ekonomi dengan TVET” yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sosio-ekonomi di Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan teknis dan kejuruan (Technical and Vocational Education and Training – TVET). 

Berdasarkan riset mereka, telah ditemukan bahwa sebagian besar tenaga kerja di Indonesia (74%) tidak terampil yang disebabkan oleh tingkat pendidikan rendah, keterampilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, minimnya akses pelatihan, permintaan tinggi untuk tenaga kerja kasar, dan faktor demografis. Upaya pemerintah yang sudah dijalankan termasuk Program Pra Kerja dan Balai Latihan Kerja, serta pembangunan TVET Center di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dan daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah. Rekomendasi dan solusi yang diberikan oleh Tim A mencakup inklusivitas dalam pelaksanaan TVET agar semua lapisan masyarakat dapat mengakses pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Sebagai kesimpulan, mereka menekankan pentingnya TVET dalam mengurangi ketimpangan sosio-ekonomi dengan meningkatkan keterampilan tenaga kerja di Indonesia serta meningkatkan upaya konkret yang telah dan perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung hal tersebut.

Tim B membawakan presentasi berjudul “Empowering Women: Breaking the Patriarchal Stigma in Education” yang membahas ketimpangan gender dalam pendidikan di Indonesia. 

Konten riset dimulai dengan analisis situasi yang mengungkapkan faktor-faktor budaya, norma adat, dan peran domestik perempuan yang menyebabkan bias gender dan membatasi akses serta partisipasi pendidikan bagi perempuan. Budaya patriarki yang dominan menganggap perempuan terbatas oleh fungsi biologis mereka. Situasi ini diperparah oleh pandangan orangtua yang menganggap anak perempuan lebih cocok untuk membantu pekerjaan rumah. Studi kasus dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Desa Bontoraja dan MAN 1 Buleleng, menunjukkan adanya bias gender dalam penggunaan kata “siswa” tanpa diikuti “siswi”, keterbatasan institusi pendidikan, serta materi pembelajaran yang bias gender. Upaya reformasi kebijakan pendidikan perempuan mencakup studi kebijakan serupa yang berhasil, uji coba kebijakan, dan analisis dampak untuk membuat kebijakan yang jelas dan tidak ambigu. Sasaran penerapan meliputi peningkatan partisipasi anak perempuan di sekolah, pemberian beasiswa, akses internet di daerah 3T, dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan perempuan. Implementasi strategi ini termasuk peningkatan persentase penerima beasiswa dari keluarga miskin atau daerah terpencil, program pendidikan alternatif, pelatihan guru tentang inklusi gender, serta kampanye kesadaran masyarakat​.

Tim C membawakan presentasi berjudul “Inequal Educational Facilities in Different Regions Thereby Reducing Educational Competence of Youth Generation: Sulawesi Island and Java Island” yang membahas ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia dengan fokus pada perbedaan antara pulau Sulawesi dan Jawa. 

Di sini, mereka menjelaskan bahwa ketimpangan ini berpengaruh negatif terhadap kompetensi generasi muda. Di Sulawesi, banyak sekolah memiliki kondisi yang memprihatinkan, seperti SDN 58 yang bangunannya rusak parah dan SD 5/81 Pallawa yang tidak memiliki fasilitas memadai, sehingga siswa harus belajar di bawah rumah dengan lantai tanah. Sebaliknya, di Jawa, beberapa sekolah seperti SDN Mekarjaya 1 di Depok baru saja dibangun dengan fasilitas modern yang mendukung proses belajar mengajar. Faktor penyebab ketimpangan ini antara lain kurangnya dana pembangunan, aksesibilitas lokasi, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Dampak dari ketimpangan fasilitas pendidikan ini meliputi berkurangnya kemampuan berpikir kritis, kompetensi belajar, dan kemampuan mengikuti kemajuan digital dan kreativitas siswa. Untuk mengatasi masalah ini, penting adanya peningkatan fasilitas dan infrastruktur sekolah serta kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pendidikan yang merata. Sebagai rekomendasi, Tim C menjelaskan situs web (fasilitassekolah.id) yang diperkenalkan sebagai alat untuk mengumpulkan data sekolah yang belum memenuhi standar pendidikan yang layak, dengan tujuan mempermudah advokasi kepada pemerintah untuk tindakan perbaikan segera. Kesimpulannya, fasilitas pendidikan yang baik sangat penting untuk mendukung berbagai aktivitas belajar, meningkatkan minat literasi, antusias belajar, dan kegiatan ekstrakurikuler siswa, yang pada akhirnya dapat mengembangkan potensi terbaik mereka​.